oleh
Lalu Baharuddin, S.kep.,N
Program Profesi Ners
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Buleleng
2015-2016
LAPORAN
PENDAHULUAN PPOK
1.1 DEPINISI
Penyakit paru-paru obstruksi menahun
adalah penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan
restensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologinya (Amin, Hardhi.
2013).
PPOK atau penyakit paru obstruksi
kronik adalah suatu penyakit yang merujuk pada sejumlah gangguan yang
mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang paling sering
adalah Bronkhitis Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. (Asmadi. 2008).
Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis
kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa
disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk
hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan
berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema
adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
1.2 KLASIFIKASI
Penyakit
yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai
berikut:
1.
Bronkitis kronik
2.
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir
setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu
tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
3.
Emfisema paru
4.
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomic, yaitu
suatu perubahan anatomic paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal
saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding
alveolus.
5.
Asma
Asma
merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat
bronkospasme.
6. Bronkiektasis
Bronkiektasis
adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan oleh
berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda
asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan
terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe. Pengaruh dari masing-masing factor
risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok
dianggap yang paling dominan.
1.3 ETIOLOGO
Faktor – faktor yang menyebabkan
timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas
kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi
alfa satu antitripsin.
Brashers
(2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi
kronis adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko
untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap
peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari
lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko
penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK
bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK,
terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan
awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada
masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal
yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi
saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya
PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan
berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK.
1.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi menurut Brashers
(2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah :
Asap rokok, polusi udara dan
terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi saluran nafas. Karena
iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel
goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang
dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan
berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok
dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya
elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi
rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang
berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien
kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Infeksi merusak dinding bronchial
menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental
yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara
permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut
menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya
pasien mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital,
penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas
total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang
biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya permukaan alveoli bagi
pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan
hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara
ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu.
Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran
pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan penurunan
ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi
pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukaran oksigen dan
karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan
patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan
paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau karbondioksida. Akibatnya
kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya pasokan
oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang
mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya
pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga
menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi
daerah permukaan yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan
patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori.
Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari,
peningkatan resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh
pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi
ventrikel kanan.

1.5 TANDA DAN GEJALA
Manifestasi klinis menurut Mansjoer
(2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1.
Batuk.
2.
Sputum putih atau mukoid, jika ada
infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3.
Sesak, sampai menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan
manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK
adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di
saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut.
Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi
batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering
mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis,
sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab
pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang
tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak
yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari
hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya
kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI)
gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena
lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
1.6 KOMPLIKASI
1.
Hipoksemia
Didefinisikan
sebagai penurunan nilai PO2 kurang dari 55 mmHg dengan nilai saturasi O2 kurang
dari 85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
2.
Asidosis
respiratori
Timbul
akibat dari peningkatan nilai PCO2 ( hiperkapnia ). Tanda yang muncul antara
lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
3.
Infeksi saluran
pernapasan
Karena
peningkatan produksi mukosa, peningkatan rangsang otot polos bronchial, dan
edema mukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan
menimbulkan dispnea.
4.
Gagal jantung
Akibat
dari penyakit paru-paru terutama pada pasien dispnea berat.
5.
Disritmia
jantung
Timbul
akibat hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat, atau terjadinya asidosis
respiratori.
6.
Status
asmatikus
Merupakan
komplikasi utama yang berhubungan dengan asma bronkial. Penyakit ini sangat
berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak memberikan respon
terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan
distensi vena leher sering kali terlihat.
1.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan
merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan
dengan :
a.
Antibiotik, karena eksasebrasi akut
biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae
dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau
eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b.
Augmentin (amoksisilin dan asam
kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae
dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c.
Pemberian antibiotik seperti
kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami
eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat
kenaikan peak flow rate. Namun hanya
dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau
tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d.
Terapi oksigen diberikan jika
terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas
terhadap CO2.
e.
Fisioterapi membantu pasien untuk
mengeluarkan sputum dengan baik.
f.
Bronkodilator untuk mengatasi,
termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol
5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan
dengan :
a.
Antibiotik untuk kemoterapi
preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan
kejadian eksasebrasi akut.
b.
Bronkodilator, tergantung tingkat
reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat
ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c.
Fisioterapi.
d.
Latihan fisik untuk meningkatkan
toleransi aktivitas fisik.
e.
Mukolitik dan ekspektoran.
f.
Terapi jangka penjang bagi pasien
yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g.
Rehabilitasi, pasien cenderung
menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu
kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis
dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan
penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah
:
1. Penatalaksanaan medis untuk asma
adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau penyuluhan kesehatan.
Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal
individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah
efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk
klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat,
progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah
merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan
preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan
inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan
tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral.
Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu
untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih
berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk
bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi
pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif
dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan,
karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat
pulih (irreversible). Ketika individu
mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah
terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok,
progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan sebelum terjadi gejala,
resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat
seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan.
Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan
tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas
dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik
profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan
pada proses penyakit tahap lanjut.
3. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis
termasuk pemberian antibiotik, drainase postural untuk membantu mengeluarkan
sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang
mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang
diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala
meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah
untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi
atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam
kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian
paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi
sebelum mengatasi sisi lainnya.
4. Penatalaksanaan medis emfisema
adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat progresi penyakit, dan
mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan
terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk
mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan
cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi
pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan
dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.
1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan
hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara
retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan
tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan
penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis
dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada
emfisema.
5. Volume residu meningkat pada
emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio
volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan
asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD)
memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering PaO2
menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan
emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau
asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan
dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat
(emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema
luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia
darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi
dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum,
kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram
(EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial
(bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis,
emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram
(EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi
program latihan.
2.1 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1.1 Pengkajian
Pengkajian
mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit
sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data
riwayat kesehatan dari proses penyakit: (1, 3)
1. Sudah berapa
lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
2.
Apakah
aktivitas meningkatkan dispnea?
3.
Berapa jauh
batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
4.
Kapan pasien
mengeluh paling letih dan sesak napas?
5.
Apakah
kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6.
Riwayat
merokok?
7.
Obat yang
dipakai setiap hari?
8.
Obat yang
dipakai pada serangan akut?
9.
Apa yang
diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data
tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Frekuensi
nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah
pernapasan sama tanpa upaya?
3. Apakah ada
kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4. Apakah ada
penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
5. Barrel
chest?
6. Apakah
tampak sianosis?
7. Apakah ada
batuk?
8. Apakah ada
edema perifer?
9. Apakah vena
leher tampak membesar?
10. Apa warna,
jumlah dan konsistensi sputum pasien?
11. Bagaimana
status sensorium pasien?
12. Apakah
terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
Palpasi:
1. Palpasi
pengurangan pengembangan dada?
2. Adakah
fremitus taktil menurun?
Perkusi:
1. Adakah
hiperesonansi pada perkusi?
2. Diafragma
bergerak hanya sedikit?
Auskultasi:
1.
Adakah suara
wheezing yang nyaring?
2.
Adakah suara
ronkhi?
3.
Vokal
fremitus nomal atau menurun?
2.1.2 Diagnosa Yang Mungkin Muncul
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan produksi secret
2. Intoleransi
aktivitas b.d ketidak seimbangan supply O2.
3. ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidak adekuatan intake nutrisi sekunder terhadap
peningkatan kerja pernafasan atau kesulitan masukan oral sekunder dari
anoreksia.
4. Cemas berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang penyakitnya.
1.2.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
|
Rencana keperawatan
|
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
|
Bersihan Jalan Nafas
tidak efektif berhubungan dengan:
·
Infeksi, disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding bronkus,
alergi jalan nafas, asma, trauma
·
Obstruksi jalan nafas : spasme jalan nafas, sekresi tertahan,
banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, sekresi bronkus, adanya eksudat
di alveolus, adanya benda asing di jalan nafas.
DS:
·
Dispneu
DO:
·
Penurunan suara nafas
·
Orthopneu
·
Cyanosis
·
Kelainan suara nafas (rales, wheezing)
·
Kesulitan berbicara
·
Batuk, tidak efekotif atau tidak ada
·
Produksi sputum
·
Gelisah
·
Perubahan frekuensi dan irama nafas
|
NOC:
·
Respiratory status : Ventilation
·
Respiratory status : Airway patency
·
Aspiration Control
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama …………..pasien menunjukkan keefektifan jalan nafas
dibuktikan dengan kriteria hasil :
·
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan
mudah, tidak ada pursed lips)
·
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
·
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab.
·
Saturasi O2 dalam batas normal
·
Foto thorak dalam batas normal
|
·
Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
·
Berikan O2 ……l/mnt, metode………
·
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
·
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
·
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
·
Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
·
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
·
Berikan bronkodilator :
·
………………………
·
……………………….
·
………………………
·
Monitor status hemodinamik
·
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
·
Berikan antibiotik :
…………………….
…………………….
·
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
·
Monitor respirasi dan status O2
·
Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
·
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction, Inhalasi.
|
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
|
Rencana keperawatan
|
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
|
Intoleransi aktivitas
Berhubungan dengan :
·
Tirah Baring atau imobilisasi
·
Kelemahan menyeluruh
·
Ketidakseimbangan antara suplei oksigen dengan kebutuhan
Gaya hidup yang
dipertahankan.
DS:
·
Melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan.
·
Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.
DO :
·
Respon abnormal dari tekanan darah atau nadi terhadap aktifitas
·
Perubahan ECG : aritmia, iskemia
|
NOC :
·
Self Care : ADLs
·
Toleransi aktivitas
·
Konservasi eneergi
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama …. Pasien bertoleransi terhadap
aktivitas dengan Kriteria Hasil :
·
Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan
tekanan darah, nadi dan RR
·
Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
·
Keseimbangan aktivitas dan istirahat
|
NIC :
·
Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
·
Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
·
Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
·
Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
·
Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
(takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
·
Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
·
Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi yang tepat.
·
Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dilakukan
·
Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan sosial
·
Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
·
Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
·
Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
·
Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
·
Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
·
Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
·
Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
·
Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual
|
Diagnosa
Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
|
Rencana keperawatan
|
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
|
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan :
Ketidakmampuan untuk
memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis, psikologis atau
ekonomi.
DS:
·
Nyeri abdomen
·
Muntah
·
Kejang perut
·
Rasa penuh tiba-tiba setelah makan
DO:
·
Diare
·
Rontok rambut yang berlebih
·
Kurang nafsu makan
·
Bising usus berlebih
·
Konjungtiva pucat
·
Denyut nadi lemah
|
NOC:
a.
Nutritional status: Adequacy of nutrient
b.
Nutritional Status : food and Fluid Intake
c.
Weight Control
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama….nutrisi kurang teratasi dengan indikator:
·
Albumin serum
·
Pre albumin serum
·
Hematokrit
·
Hemoglobin
·
Total iron binding capacity
·
Jumlah limfosit
|
·
Kaji adanya alergi makanan
·
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien
·
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
·
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
·
Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
·
Monitor lingkungan selama makan
·
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
·
Monitor turgor kulit
·
Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
·
Monitor mual dan muntah
·
Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
·
Monitor intake nuntrisi
·
Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
·
Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan
seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
·
Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
·
Kelola pemberan anti emetik:.....
·
Anjurkan banyak minum
·
Pertahankan terapi IV line
·
Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan
cavitas oval
|
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
|
Rencana keperawatan
|
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
|
Kecemasan
berhubungan dengan
Faktor keturunan, Krisis
situasional, Stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan
konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi
DO/DS:
·
Insomnia
·
Kontak mata kurang
·
Kurang istirahat
·
Berfokus pada diri sendiri
·
Iritabilitas
·
Takut
·
Nyeri perut
·
Penurunan TD dan denyut nadi
·
Diare, mual, kelelahan
·
Gangguan tidur
·
Gemetar
·
Anoreksia, mulut kering
·
Peningkatan TD, denyut nadi, RR
·
Kesulitan bernafas
·
Bingung
·
Bloking dalam pembicaraan
·
Sulit berkonsentrasi
|
NOC :
Setelah
dilakukan asuhan selama ……………klien kecemasan teratasi dgn kriteria hasil:
·
Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
·
Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
mengontol cemas
·
Vital sign dalam batas normal
·
Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan
|
NIC :
Anxiety Reduction
(penurunan kecemasan)
·
Gunakan pendekatan yang menenangkan
·
Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
·
Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
·
Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
·
Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
·
Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
·
Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
·
Dengarkan dengan penuh perhatian
·
Identifikasi tingkat kecemasan
·
Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
·
Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
·
Kelola pemberian obat anti cemas:........
|
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa
Medis NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta : Salemba Medika.
Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan
dan Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran
NANDA,
2012, Diagnose Keperawatan NANDA:
Definisi Dan Klasifikasi
semoga bermanfaat
salam stikes buleleng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar