Rabu, 06 April 2016

Askep Ppok

oleh
Lalu Baharuddin, S.kep.,N




Program Profesi Ners
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Buleleng 
2015-2016




LAPORAN PENDAHULUAN PPOK


1.1       DEPINISI
Penyakit paru-paru obstruksi menahun adalah penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan restensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologinya (Amin, Hardhi. 2013).
PPOK atau penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang paling sering adalah Bronkhitis Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. (Asmadi. 2008).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible.  Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).

1.2       KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut:
1.        Bronkitis kronik
2.        Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
3.        Emfisema paru
4.        Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomic, yaitu suatu perubahan anatomic paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus.
5.        Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.
6.         Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe. Pengaruh dari masing-masing factor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
1.3       ETIOLOGO
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1.      Kebiasaan merokok.
2.      Polusi udara.
3.      Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4.      Riwayat infeksi saluran nafas.
5.      Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis adalah :
1.      Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
2.      Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3.      Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4.      Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK.
1.4       PATOFISIOLOGI
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida meningkat. Metabolisme  menjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.
1.5       TANDA DAN GEJALA
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1.      Batuk.
2.      Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3.      Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
1.6       KOMPLIKASI
1.      Hipoksemia
       Didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2 kurang dari 55 mmHg dengan nilai saturasi O2 kurang dari 85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
2.      Asidosis respiratori
       Timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2 ( hiperkapnia ). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
3.      Infeksi saluran pernapasan
       Karena peningkatan produksi mukosa, peningkatan rangsang otot polos bronchial, dan edema mukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan menimbulkan dispnea.
4.      Gagal jantung
       Akibat dari penyakit paru-paru terutama pada pasien dispnea berat.
5.      Disritmia jantung
       Timbul akibat hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat, atau terjadinya asidosis respiratori.
6.      Status asmatikus
       Merupakan komplikasi utama yang berhubungan dengan asma bronkial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak memberikan respon terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat.
1.7       PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1.      Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2.      Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a.       Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b.      Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c.       Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d.      Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e.       Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f.       Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3.      Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a.       Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b.      Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c.       Fisioterapi.
d.      Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e.       Mukolitik dan ekspektoran.
f.       Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g.      Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1.      Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2.      Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik  dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
3.      Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
4.      Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.

1.8       PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) antara lain :
1.      Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2.      Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
3.      Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.
4.      Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5.      Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6.      Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7.      Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
8.      Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
9.      Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10.  Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
11.  Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12.  Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
13.  Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.
                                         
2.1       KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1.1    Pengkajian
Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit: (1, 3)
1.      Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
2.      Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?
3.      Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
4.      Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
5.      Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6.      Riwayat merokok?
7.      Obat yang dipakai setiap hari?
8.      Obat yang dipakai pada serangan akut?
9.      Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
1.      Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2.      Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
3.      Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4.      Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
5.      Barrel chest?
6.      Apakah tampak sianosis?
7.      Apakah ada batuk?
8.      Apakah ada edema perifer?
9.      Apakah vena leher tampak membesar?
10.  Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
11.  Bagaimana status sensorium pasien?
12.  Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
Palpasi:
1.      Palpasi pengurangan pengembangan dada?
2.      Adakah fremitus taktil menurun?
Perkusi:
1.      Adakah hiperesonansi pada perkusi?
2.      Diafragma bergerak hanya sedikit?
Auskultasi:
1.      Adakah suara wheezing yang nyaring?
2.      Adakah suara ronkhi?
3.      Vokal fremitus nomal atau menurun?
2.1.2    Diagnosa Yang Mungkin Muncul
1.         Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi secret
2.         Intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan supply O2.
3.    ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak adekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan kerja pernafasan atau kesulitan masukan oral sekunder dari anoreksia.
4.         Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.

1.2.3    Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Bersihan Jalan Nafas tidak efektif berhubungan dengan:
·         Infeksi, disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding bronkus, alergi jalan nafas, asma, trauma
·         Obstruksi jalan nafas : spasme jalan nafas, sekresi tertahan, banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, sekresi bronkus, adanya eksudat di alveolus, adanya benda asing di jalan nafas.
DS:
·         Dispneu
DO:
·         Penurunan suara nafas
·         Orthopneu
·         Cyanosis
·         Kelainan suara nafas (rales, wheezing)
·         Kesulitan berbicara
·         Batuk, tidak efekotif atau tidak ada
·         Produksi sputum
·         Gelisah
·         Perubahan frekuensi dan irama nafas
NOC:
·         Respiratory status : Ventilation
·         Respiratory status : Airway patency
·         Aspiration Control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …………..pasien menunjukkan keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan kriteria hasil :
·         Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
·         Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
·         Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab.
·         Saturasi O2 dalam batas normal
·         Foto thorak dalam batas normal

·         Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
·         Berikan O2  ……l/mnt, metode………
·         Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
·         Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
·         Lakukan fisioterapi dada jika perlu
·         Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
·         Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
·         Berikan bronkodilator :
·         ………………………
·         ……………………….
·         ………………………
·         Monitor status hemodinamik
·         Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
·         Berikan antibiotik :
…………………….
…………………….
·         Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
·         Monitor respirasi dan status O2
·         Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
·         Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan peralatan : O2, Suction, Inhalasi.



Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Intoleransi aktivitas
Berhubungan dengan :
·         Tirah Baring atau imobilisasi
·         Kelemahan menyeluruh
·         Ketidakseimbangan antara suplei oksigen dengan kebutuhan
Gaya hidup yang dipertahankan.
DS:
·         Melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan.
·         Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.
DO :

·         Respon abnormal dari tekanan darah atau nadi terhadap aktifitas
·         Perubahan ECG : aritmia, iskemia
NOC :
·         Self Care : ADLs
·         Toleransi aktivitas
·         Konservasi eneergi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. Pasien bertoleransi terhadap aktivitas dengan Kriteria Hasil :
·         Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
·         Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
·         Keseimbangan aktivitas dan istirahat
NIC :
·         Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
·         Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
·         Monitor nutrisi  dan sumber energi yang adekuat
·         Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
·         Monitor respon kardivaskuler  terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
·         Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
·         Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam merencanakan progran terapi yang tepat.
·         Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
·         Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial
·         Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
·         Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek
·         Bantu untuk  mengidentifikasi aktivitas yang disukai
·         Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
·         Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
·         Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
·         Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
·         Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual


Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan :
Ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis, psikologis atau ekonomi.
DS:
·         Nyeri abdomen
·         Muntah
·         Kejang perut
·         Rasa penuh tiba-tiba setelah makan
DO:
·         Diare
·         Rontok rambut yang berlebih
·         Kurang nafsu makan
·         Bising usus berlebih
·         Konjungtiva pucat
·         Denyut nadi lemah

NOC:
a.       Nutritional status: Adequacy of nutrient
b.       Nutritional Status : food and Fluid Intake
c.        Weight Control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….nutrisi kurang teratasi dengan indikator:
·         Albumin serum
·         Pre albumin serum
·         Hematokrit
·         Hemoglobin
·         Total iron binding capacity
·         Jumlah limfosit
·         Kaji adanya alergi makanan
·         Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
·         Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
·         Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
·         Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
·         Monitor lingkungan selama makan
·         Jadwalkan pengobatan  dan tindakan tidak selama jam makan
·         Monitor turgor kulit
·         Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
·         Monitor mual dan muntah
·         Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
·         Monitor intake nuntrisi
·         Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
·         Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
·         Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
·         Kelola pemberan anti emetik:.....
·         Anjurkan banyak minum
·         Pertahankan terapi IV line
·         Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval



Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Kecemasan berhubungan dengan
Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi

DO/DS:
·         Insomnia
·         Kontak mata kurang
·         Kurang istirahat
·         Berfokus pada diri sendiri
·         Iritabilitas
·         Takut
·         Nyeri perut
·         Penurunan TD dan denyut nadi
·         Diare, mual, kelelahan
·         Gangguan tidur
·         Gemetar
·         Anoreksia, mulut kering
·         Peningkatan TD, denyut nadi, RR
·         Kesulitan bernafas
·         Bingung
·         Bloking dalam pembicaraan
·         Sulit berkonsentrasi
NOC :
  • Kontrol kecemasan
  • Koping
Setelah dilakukan asuhan selama ……………klien kecemasan teratasi dgn kriteria hasil:
·         Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
·         Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
·         Vital sign dalam batas normal
·         Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
NIC :
Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
·         Gunakan pendekatan yang menenangkan
·         Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
·         Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
·         Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
·         Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
·         Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
·         Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
·         Dengarkan dengan penuh perhatian
·         Identifikasi tingkat kecemasan
·         Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
·         Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
·         Kelola pemberian obat anti cemas:........




DAFTAR PUSTAKA


Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran

NANDA, 2012, Diagnose Keperawatan NANDA: Definisi Dan Klasifikasi







semoga bermanfaat 
salam stikes buleleng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar