Rabu, 30 Maret 2016

ASKEP SECTIO CAESAREA




LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN TENTENG SECTIO CAESAREA









 

OLEH :
Lalu Baharuddin
NIM.

PROGRAM STUDI PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG
TAHUN 2016


 


 

2.1       Tinjauan Teori Penyakit
2.1.1    Definisi
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono , 2005) Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 1998)  Sectio caesarea  adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim. Dalam Operasi Caesar, ada tujuh lapisan yang diiris pisau bedah, yaitu lapisan kulit, lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim, dan rahim. Setelah bayi dikeluarkan, lapisan itu kemudian dijahit lagi satu per satu, sehingga jahitannya berlapis-lapis. Melihat proses diatas, maka dapat disimpulkan bahwa melahirkan dengan operasi tentu memiliki resiko lebih tinggi dibanding melahirkan secara alamiah. Dengan demikian, akan lebih bijak bila dalam mengambil keputusan untuk tindakan operasi, memang berdasarkan indikasi medis dan sudah tidak dapat dilakukan upaya lain.

2.1.2    Etiologi
Pada persalinan normal bayi akan keluar melalui vagina, baik dengan alat maupun dengan kekuatan ibu sendiri. Dalam keadaan patologi kemungkinan dilakukan operasi sectio caesarea.
Faktor-Faktor Penyebab Sectio Caesarea
Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea adalah plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia serviks, pre eklamsi dan hipertensi. Sedangkan faktor dari janin adalah letak lintang dan letak bokong. Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut
1.        CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion  Chepalo Pelvik Disproportion (CPD)
adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal (Kasdu, 2003). Setiap pada diameter panggul yang mengurangi kapasitas panggul, dapat menimbulkan distosia pada persalinan. Menurut Wiknjosastro (2002) ada beberapa kesempitan panggul, yaitu :
a)        Kesempitan pintu atas panggul
 Pintu atas panggul biasanya dianggap menyempit jika konjugata vera yang merupakan ukuran paling pendek panjangnya kurang dari 10 cm atau jika diameter transversal yang merupakan ukuran paling lebar panjangnya kurang dari 12 cm, proses persalinannya jika kelainan panggul cukup menonjol dan menghalangi masuknya kepala dengan mudah ke dalam pintu atas panggul, proses persalinan akan memanjang dan kerap kali tidak pernah terjadi persalinan spontan yang efektif sehingga membawa akibat yang serius bagi ibu maupun janinnya.
b)        Kesempitan panggul tengah Bidang
obstetrik panggul tengah membentang dari margo inferior simfisis pubis, lewat spina iskiadika, dan mengenai sakrum di dekat sambungan tulang vertebra keempat dan kelima. Meskipun definisi kesempitan pintu atas panggul, namun panggul tengah mungkin sempit kalau jumlah diameter interspinarum dan diameter sagitalis posterior pelvis (normalnya 10,5 plus 5 cm atau 15,5 cm) mencapai 13,5 cm atau lebih kurang lagi.

c)         Kesempitan pintu bawah panggul
Kesempitan pintu bawah panggul biasanya diartikan sebagai keadaan dimana distansia tuberculum 8 cm atau lebih kecil lagi. Pintu bawah panggul yang sempit tidak banyak mengakibatkan distosia karena kesempitannya sendiri mengingat keadaan ini sering disertai pula dengan kesempitan panggul tengah. Dalam kasus CPD, jika kepala janin belum masuk ke dalam pintu atas panggul pada ibu hamil cukup bulan, akan dilakukan operasi sectio caesarea karena resiko terhadap janin semakin besar kalau persalinan semakin maju
2)      PEB (Pre-Eklamsi Berat) Pre-Eklamsi Dan Eklamsi
merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi (Mochtar, 1998). Pre-eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi pada trimester III kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100 mmHg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada kedaan istirahat (Wiknjosastro, 2002).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklamsi. Kenaikan berat badan setengah kilo setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan satu kilo seminggu beberapa kali,hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklamsia. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan satu atau dua + atau satu gram per liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dari pada hipertensi dan kenaikan berat badan karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius (Wiknjosastro, 2002).
Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal ialah pemeriksaan antenatal yag teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin, lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Tujuan utama penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsi, hendaknya janin lahir hidup dan trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998). Menurut (Manuaba, 1998) gejala pre-eklamsi berat dapat diketahui dengan pemeriksaan pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg, oliguria urin kurang 400 cc/24 jam, proteinuria lebih dari 3 gr/liter. Pada keluhan subjektif pasien mengeluh nyeri epigastrium, gangguan penglihatan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan di dapat kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan trombosit kurang dari 100.000/mm. Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang dapat diikuti oleh koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting dari mengobatinya, karena sekali ibu mendapat serangan, maka prognosa akan jauh lebih buruk. Penatalaksanaan eklamsi bertujuan untuk menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan melakukan sectio caesarea yang aman agar mengurangi trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).
3)         KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2001). Ada dua macam kemungkinan ketuban pecah dini, yaitu premature rupture of membran dan preterm rupture of membrane. Keduanya memiliki gejala yang sama yaitu keluarnya cairan dan tidak ada keluhan sakit. Tanda-tanda khasnya adalah keluarnya cairan mendadak disertai bau yang khas, namun berbeda dengan bau air seni. Alirannya tidak terlalu deras keluar serta tidak disertai rasa mules atau sakit perut. Akan terdeteksi jika si ibu baru merasakan perih dan sakit jika si janin bergerak (Barbara, 2009). Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang disebutkan memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan perdarahan selama kehamilan. Beberapa faktor resiko dari KPD yaitu polihidramnion, riwayat KPD sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput ketuban, kehamilan kembar, trauma dan infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis (Mochtar, 1998).
Diagnosis ketuban pecah dini didasarkan pada riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah besar secara mendadak atau sedikit demi sedikit pervaginam. Untuk dapat menegakkan diagnosis dapat diambil pemeriksaan inspekulo untuk pengambilan cairan pada forniks posterior, pemeriksaan lakmus yang akan berubah menjadi biru sifat basa, fern tes cairan amnion, pemeriksaan USG untuk mencari Amniotic Fluid Index (AFI), aktifitas janin, pengukur berat badan janin, detak jantung janin, kelainan kongenital atau deformitas. Selain itu untuk membuktikan kebenaran ketuban pecah dengan jalan aspirasi air ketuban untuk dilakukan kultur cairan amnion, pemeriksaan interleukin, alfa fetoprotein, bisa juga dengan cara penyuntikan indigo karmin ke dalam amnion serta melihat dikeluarkannya pervaginam (Manuaba, 2007).
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Pecahnya kantung ketuban pada kehamilan seringkali tidak disadari penyebabnya. Namun, biasanya hal ini terjadi sesudah trauma. Misalnya, setelah terjatuh, perut terbentur sesuatu, atau sesudah senggama. Dengan adanya hal ini dokter akan mempercepat persalinan karena khawatir akan terjadi infeksi pada ibu dan janinnya
4)      Janin Besar (Makrosomia)
Makrosomia atau janin besar adalah taksiran berat janin diatas 4.000 gram. Di negara berkembang, 5 % bayi memiliki berat badan lebih dari 4.000 gram pada saat lahir dan 0,5 % memiliki berat badan lebih dari 4.500 gram. Ada beberapa faktor ibu yang menyebabkan bayi besar, yaitu ibu dengan diabetes, kehamilan post-term, obesitas pada ibu, dan lain-lain. Untuk mencegah trauma lahir, maka bedah sesar elektif harus ditawarkan pada wanita penderita diabetes dengan taksiran berat janin lebih dari 4500 gram dan pada wanita nondiabetes dengan taksiran berat janin lebih dari 5000 gram (Glance, 2006). Namun, bisa saja janin dengan ukuran kurang dari 4.000 gram dilahirkan dengan operasi. Dengan berat janin yang diperkirakan sama, tetapi terjadi pada ibu yang berbeda maka tindakan persalinan yang dilakukan juga berbeda. Misalnya untuk panggul ibu yang terlalu sempit, berat badan janin 3 kg sudah dianggap besar karena bayi tidak dapat lewat jalan lahir. Demikian pula pada posisi sungsang dengan berat janin lebih dari 3,6 kg sudah bisa dianggap besar sehingga perlu dilakukan kelahiran dengan operasi. Keadaan ini yang disebut bayi besar relatif (Kasdu, 2003). Kelahiran pervaginam untuk bayi makrosomia harus dilakukan dengan sangat terkontrol yaitu dengan akses segera kepada staf anastesi dan tim resusitasi neonatus. Sangat penting untuk menghindari persalinan pervaginam dengan alat bantu dalam keadaan ini (Glance, 2006).
5)         Kelainan Letak Janin menurut Mochtar (1998) Antara Lain
a)    Kelainan Pada Letak Kepala
·           Letak kepala tengadah Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
·           Presentasi muka Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
·           Presentasi dahi Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b)         Letak sungsang Janin yang letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di fundus dan bokong di bawah (Mochtar, 1998). Menurut (Sarwono, 1992) letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki.
·         Bayi kembar Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
·           Faktor hambatan jalan lahir Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas (Dini Kasdu, 2003)
2.1.3        Klasifikasi
a)      Sktio Caesaria Abdoinalis
tipe operasi sektio caesaria:
·         sektio caesaria klasik atau corporal dengan inisiasi meanjang pada korpus uteri.
·         sektio caesaria ismika atau profunda atau low cervical dengan inisiasi pada segmen bawah rahim.
b)      sektio caesaria transperitonialis yang terdiri dari :
·           sektio caesaria ekssektraperitonealis, yaitu tanpa ebuka pritoniu parietalis dengan demikian tidak mebuka kavum abdominalis.
·           sektio caesaria vaginalis. menurut sayatan pada rahim
_   sayatan eanjang (longitudinal)  menurut kronig
_   sayatan melintang (transversal) menurut kerr
_   sayatan  hurup T ( T-incision)
2.1.4        Tanda Dan Gejala
1)      Perubahan Fisik
a)      Sistem Reproduksi
·      Uterus
Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil.
Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.
Lochea
·      Komposisi
Jaringan endometrial, darah dan limfe
·      Tahap
Rubra (merah) : 1-3 hari.
Serosa (pink kecoklatan)
Alba (kuning-putih) : 10-14 hari
Lochea terus keluar sampai 3 minggu.
·      Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.  Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.
-          Siklus Menstruasi
Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu tidak menyusui akan kembali ke siklus normal.
- Ovulasi
Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai ovulasi pada bulan ke 3 atau lebih. Ibu tidak menyusui mulai pada minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
- Serviks
Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.
- Vagina
Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.
- Perineum 
·      Episiotomi
Penyembuhan dalam 2 minggu.
·      Laserasi
TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot
TK II : Meluas sampai dengan otot perineal
TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter
TK IV : melibatkan dinding anterior rektal
b)      Payudara
Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang tidak disusui, engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan mengecil pada 1-2 hari.
c)      Sistem Endokrin
·      Hormon Plasenta
HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak terdeteksi dalam 72 jam post partum normal setelah siklus menstruasi.
·      Hormon pituitary
Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun sampai tidak ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan pada minggu I post partum.
d)     Sistem Kardiovaskuler
·      Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum terjadi bradikardi.
·      Volume Darah
Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.
·      Perubahan hematologik Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.
·      Jantung Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.
e)      Sistem Respirasi
Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.
f)       Sistem Gastrointestinal
·      Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.
·      Nafsu makan kembali normal.
·      Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg
g)      Sistem Urinaria
·      Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.
·      Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.
·      Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.
h)      Sistem Muskuloskeletal
Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil. Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.
i)        Sistem Integumen
Hiperpigmentasi perlahan berkurang
j)        Sistem Imun
Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.

2.1.5        Patofisiologi
                   Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).  Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
                   Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.  












2.1.6    Woc
 
























2.1.7    Pemeriksaan Penunjang
            Untuk mengetahui panggul sempit dapat dilakukan pemeriksaan, diantaranya (Smeltzer 2001 : 339) :
1.      Darah rutin (mis Hb)
2.      Urinalisis : menentukan kadar albumin/glukosa
3.      Pelvimetri : menentukan CPD
4.      USG abdomen
5.      Gula darah sewaktu

2.1.8    Penatalaksanaan
            Penatalaksanaan medis dan perawatan setelah dilakukan sectio caesarea (Cuningham, F Garry, 2005 : 614)
1. Perdarahan dari vagina harus dipantau dengan cermat
2. Fundus uteri harus sering dipalpasi untuk memastikan bahwa uterus tetap berkontraksi dengan kuat
3. Analgesia meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg diberikan, pemberian narkotik biasanya disertai anti emetik, misalnya prometazin 25 mg
4. Eriksa aliran darah uterus palingsedikit 30 ml/jam
5. Pemberian cairan intra vaskuler, 3 liter cairan biasanya memadai untuk 24 jam pertama setelah pembedahan
6. Ambulasi, satu hari setelahpembedahan klien dapat turun sebertar dari tempat tidur dengan bantuan orang lain
7. Perawatan luka, insisi diperiksa setiap hari, jahitan kulit (klip) diangkat pada hari keempat setelah pembedahan
8. Pemeriksaan laboratorium, hematokrit diukur pagi hari setelah pembedahan untuk memastikan perdarahan pasca operasi atau mengisyaratkan hipovolemia
9. Mencegah infeksi pasca operasi, ampisilin 29 dosis tunggal, sefalosporin, atau penisilin spekrum luas setelahjanin lahir

2.1.9    Koplikasi
Komplikasi sectio caesarea mencakup periode masa nifas yang normal dan komplikasi setiap prosedur pembedahan utama. Kompikasi sectio caesarea (Hecker, 2001 ; 341)
1)         Perdarahan
Perdarahan primer kemungkinan terjadi akibat kegagalan mencapai hemostasis ditempat insisi rahim atau akibat atonia uteri, yang dapat terjadi setelah pemanjangan masa persalinan.
2)         Sepsis sesudah pembedahan
Frekuensi dan komplikasi ini jauh lebih besar bila sectio caesarea dilakukan selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim. Antibiotik profilaksis selama 24 jam diberikan untuk mengurangi sepsis.
3)         Cedera pada sekeliling stuktur
Beberapa organ didalam abdomen seperti usus besar, kandung kemih, pembuluh didalam ligamen yang lebar, dan ureter, terutama cenderung terjadi cedera. Hematuria yang singkat dapat terjadi akibatterlalu antusias dalam menggunakan retraktor didaerah dinding kandung kemih.
4)        Komplikasi Pada anak
Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesarea banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesaria. Menurut statistik di negara – negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4 dan 7 %. (Sarwono, 1999).

2.2       Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1    Pengkajian
1)    Identitas klien dan penanggung
2)    Keluhan utama klien saat ini
3)    Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien multipara
4)    Riwayat penyakit keluarga
Keadaan klien meliputi :
a)      Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi. Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 mL
b)      Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita. Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
c)      Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
d)     Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal epidural.
e)      Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah, distensi
kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
f)       Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
g)      Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
h)      Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea sedang.

2.2.2    Diagnosa Keperawatan

a.      Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
b.     Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas operasi
c.      Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi
d.     Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi dan pembedahan
e.      Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi

3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan nyeri klien berkurang / terkontrol dengan kriteria hasil :
1       Klien melaporkan nyeri berkurang / terkontrol
2       Wajah tidak tampak meringis
3       Klien tampak rileks, dapat berisitirahat, dan beraktivitas sesuai kemampuan

1.  Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi.
2.  Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan (misalnya wajah meringis) terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
3.  Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex: beraktivitas, tidur, istirahat, rileks,  kognisi, perasaan, dan hubungan sosial)

4.  Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi progresif, latihan napas dalam, imajinasi, sentuhan terapeutik.)
5.  Kontrol faktor - faktor lingkungan yang yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara)
6.  Kolaborasi untuk penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.
1.  Mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi.



2.  Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi / reaksi terhadap nyeri.



3.  Mengetahui sejauh mana pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien.




4.  Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan kontrol dan meningkatkan harga diri dan kemampuan koping

5.  Memberikan ketenangan kepada pasien sehingga nyeri tidak bertambah


6.  Analgetik dapat mengurangi pengikatan mediator kimiawi nyeri pada reseptor nyeri sehingga dapat mengurangi rasa  nyeri
Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka bekas operasi (SC)
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil :
1      Tidak terjadi tanda - tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesea)
2      Suhu dan nadi dalam batas normal ( suhu = 36,5 -37,50 C, frekuensi nadi = 60 - 100x/ menit)
3      WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3 / uL)
1.  Tinjau ulang kondisi dasar / faktor risiko yang ada sebelumnya. Catat waktu pecah ketuban.







2.  Kaji adanya tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesa)


3.  Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik

4.  Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat / rembesan. Lepaskan balutan sesuai indikasi



5.  Anjurkan klien dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum / sesudah menyentuh luka
6.  Pantau peningkatan suhu, nadi, dan pemeriksaan laboratorium jumlah WBC / sel darah putih









7.  Kolaborasi untuk pemeriksaan Hb dan Ht. Catat perkiraan kehilangan darah selama prosedur pembedahan

8.  Anjurkan intake nutrisi yang cukup






9.  Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikasi
1. Kondisi dasar seperti diabetes / hemoragi menimbulkan potensial risiko infeksi / penyembuhan luka yang buruk. Pecah ketuban yang terjadi 24 jam sebelum pembedahan dapat menimbulkan koriamnionitis sebelum intervensi bedah dan dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka
2. Mengetahui secara dini terjadinya infeksi sehingga dapat dilakukan pemilihan intervensi secara tepat dan cepat
3. Meminimalisir adanya kontaminasi pada luka yang dapat menimbulkan infeksi

4. Balutan steril menutupi luka dan melindungi luka dari cedera / kontaminasi. Rembesan dapat menandakan terjadinya hematoma yang memerlukan intervensi lanjut
5. Cuci tangan menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial

6. Peningkatan suhu, nadi, dan WBC merupakan salah satu data penunjang yang dapat mengidentifikasi adanya bakteri di dalam darah. Proses tubuh untuk melawan bakteri akan meningkatkan produksi panas dan frekuensi nadi. Sel darah putih akan meningkat sebagai kompensasi untuk melawan bakteri yang menginvasi tubuh.
7. Risiko infeksi pasca melahirkan dan proses penyembuhan akan buruk bila kadar Hb rendah dan terjadi kehilangan darah berlebihan.

8. Mempertahankan keseimbangan nutrisi untuk mendukung perpusi jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu untuk regenerasi selular dan penyembuhan jaringan

9. Antibiotik dapat menghambat proses infeksi
Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 6 jam diharapkan ansietas klien berkurang dengan kriteria hasil :
1      Klien terlihat lebih tenang dan tidak gelisah
2      Klien mengungkapkan bahwa ansietasnya berkurang
1.    Kaji respon psikologis terhadap kejadian dan ketersediaan sistem pendukung




2.    Tetap bersama klien, bersikap tenang dan menunjukkan rasa empati



3.    Observasi respon nonverbal klien (misalnya: gelisah) berkaitan dengan ansietas yang dirasakan

4.         Dukung dan arahkan kembali mekanisme koping



5.         Berikan informasi yang benar mengenai prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi



6.          Diskusikan pengalaman / harapan kelahiran anak pada masa lalu






7.          Evaluasi perubahan ansietas yang dialami klien secara verbal
1.         Keberadaan sistem pendukung klien (misalnya pasangan) dapat memberikan  dukungan secara psikologis dan membantu klien dalam mengungkapkan masalahnya
2.         Keberadaan perawat dapat memberikan dukungan dan perhatian pada klien sehingga klien merasa nyaman dan mengurangi ansietas yang dirasakannya
3.         Ansietas seringkali tidak dilaporkan secara verbal namun tampak pada pola perilaku klien secara nonverbal

4.         Mendukung mekanisme koping dasar, meningkatkan rasa percaya diri klien sehingga menurunkan ansietas
5.         Kurangnya informasi dan misinterpretasi klien terhadap informasi yang dimiliki sebelumnya dapat mempengaruhi ansietas yang dirasakan

6.         Klien dapat mengalami penyimpangan memori dari melahirkan. Masa lalu / persepsi yang tidak realistis dan abnormalitas mengenai proses persalinan SC akan meningkatkan ansietas.
7.         Identifikasi keefektifan intervensi yang telah diberikan

2.2.3        Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat
2.2.4        Evaluasi
Nyeri hilang
Infeksi tidak terjadi
Ansietas hilang
Perawatan diri terpenuh
DAFTAR PUSTAKA


Abdul Bari Saifuddin,, 2001 , Buku Acuan Nasional  Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal, Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta

Abdul Bari Saifuddin,, 2002 , Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal, Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta

Chandranita Manuaba, Ida Ayu, dkk. 2009. Buku Ajar Patologi Obstetri . Jakarta. EGC
Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC

Manuaba, Ida Bagus Gede. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, Jakarta : EGC

Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta : EGC

Mochtar, Rustam. 1998. Synopsis Obstetric dan Ginekologi. EGC. Jakarta
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis obstetric. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar